Siaran Pers: ProFauna Menyerukan Langkah Praktis dan Politis Untuk Menyelamatkan Hutan di Jawa
(06/01/2011) Kondisi hutan di Pulau Jawa semakin memprihatinkan dan mengancam kehidupan masyarakat dan kelestarian satwa endemic Jawa. Berdasarkan data laju deforestasi yang dikeluarkan oleh departemen kehutanan periode 2003-2006, diketahui bahwa laju deforestasi terbesar terjadi di sumatera yaitu sebesar 268 000 Ha/tahun atau 22,8% dari total angka deforestasi rata-rata di Indonesia sebesar 1,17 juta Ha/th, hal ini diikuti dengan Pulau Kalimantan sebesar 239 ribu Ha/th (20,4%), Pulau Sulawesi sebesar 114,7 ribu ha/th (9,8 %), dan Pulau Jawa sebesar 2,5 ribu ha/tahun atau (0,2%).
Meskipun laju deforestasi di Pulau Jawa paling kecil, namun hutan yang tersisa di Pulau Jawa sangatlah vital. Pulau Jawa sebagai pulau dengan penduduk terpadat, adalah sebuah pulau yang nyaris kurang terperhatikan kondisi hutannya. Padahal, hutan yang ada di Pulau Jawa juga menyimpan begitu banyak satwa endemik yang langka yang akan terancam punah jika hutan di Jawa tidak dijaga kelestariannya. Sebut saja misalnya elang jawa, owa jawa, lutung jawa, kukang, surili, badak jawa, dan masih banyak lagi yang lain.
Pembukaan hutan di Jawa tersebut juga berimpilikasi secara langsung terhadap peningkatan perburuan satwa liar di hutan-hutan Jawa, khususnya Jawa Timur. Pemantauan ProFauna menunjukan bahwa perburuan satwa liar masih terjadi secara rutin di kawasan-kawasan konservasi alam seperti Taman Hutan Raya (Tahura) R Soerjo dan Taman Nasional Merubetiri. Pengawasan yang lemah dan ditunjang kemudahan akses untuk menuju kawasan konservasi tersebut mendorong perburuan satwa dan juga perusakan hutan tersebut terjadi hingga kini.
Radius Nursidi, Forest Campaign Officer - ProFauna Indonesia, mengatakan, "pemerintah perlu mengambil tindakan praktis dan politis untuk mengamankan hutan dan satwa liar yang tersisa sedikit di Pulau Jawa. Perlu sekali ada pos-pos pengaman di jalur-jalur keluar masuknya kawasan konservasi alam". Selama ini menunjukan bahwa tidak ada banyak pos pengamanan di jalur-jalur keluar masuknya orang di kawasan konservasi alam. Orang dengan begitu mudah untuk keluar masuk kawasan konservasi alam, termasuk untuk berburu satwa liar yang dilindungi.
Jika dihitung secara konservatif dengan laju deforestasi yang tetap maka saat ini untuk Pulau Jawa pengurangan jumlah hutan yang terjadi selama 2007-2010 saat ini adalah seluas 10.000 Ha. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi masyarakat dan satwa langka yang ada di Pulau Jawa. Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh departemen kehutanan tersebut, diketahui bahwa penyumbang terbesar terjadinya deforestasi untuk wilayah Pulau Jawa adalah Jawa Timur, yaitu sebesar 438,1 ha/th dengan pembagian yaitu terjadi pada hutan primer 25,1 ha/th atau 5,7%, pada hutan sekunder 43,6 ha/th atau 9,9% dan pada hutan lainnya 369,5 ha/th; 84,3%. Akan tetapi kami meyakini bahwa kondisi sebenarnya yang terjadi lebih besar dari data yang berhasil ditunjukkan oleh pemerintah ini.
Pelibatan Masyarakat untuk Melestarikan Hutan
Berdasarkan data yang ada diatas tersebut, dapat dicermati bahwa permasalah kehutanan bukanlah monopoli pemerintah saja, namun harus melibatkan banyak pihak termasuk masyarakat. Salah satu cara adalah dengan melakukan penghijauan yang berbasis masyarakat. Masyarakat harus terlibat langsung dan mendapatkan keuntungan dari program penghijauan tersebut, salah satunya adalah dengan pemilihan bibit pohon yan hanya bisa dipanen buahnya saja namun kayunya tetap lestari.
Untuk itu ProFauna bersama masyarakat setempat melakukan penghijauan di kaki Pegunungan Kawi dengan menanam sekitar 2000 bibit pohon pada tanggal 10 Januari 2010. Kebanyakan jenis pohon yang ditanam adalah pohon nangka. Nantinya masyarakat local diperblehkan memanen buah nagka tersebut, dengan catatan pohonnya tidak ditebang.
Kebijakan Pemerintah tentang Deforestasi
Sampai saat ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Beberapa faktor penyebab tingginya laju deforestasi di Indonesia adalah karena illegal logging, konversi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan, serta pembukaan hutan untuk kebutuhan pertambangan.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi laju deforestasi, akan tetapi hal ini tidak sejalan dengan kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah dalam sektor kehutanan. Salah satunya adalah, janji presiden untuk mengurangi buangan emisi sebesar 26% pertahun hingga tahun 2020 dalam pidato pada konverensi iklim di Copenhagen. Akan tetapi apa yang diucapkan oleh presiden ini sangat kontradiktif dengan kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang masih mencadangkan 17,91 juta hektar hutan untuk dikonversi menjadi areal pembangunan diluar sektor kehutanan. Paradoks yang bertentangan dengan pidato tersebut juga terlihat dari rencana pemerintah untuk memperluas perkebunan sawit 26,7 juta hektar di 17 provinsi yang juga akan mengkonversi hutan alam.
Secara nyata implikasi dari deforestasi yang terjadi ini telah berdampak pada berkurangnya daya dukung lingkungan yang berakibat pada terjadinya berbagai macam bencana yang terjadi hampir diseluruh bagian di negeri ini. Kelompok masyarakat yang merasakan secara langsung dari terjadinya deforestasi ini adalah kelompok masyarakat petani. Petani yang secara umum mengandalkan sistematika bertani yang berlandaskan pada musim, saat ini menjadi kehilangan arah dalam menentukan musim bertanam. Pengaruh deforestasi yang berdampak pada perubahan iklim telah sangat nyata dirasakan oleh para petani.
Laju deforestasi juga telah menimbulkan kelangkaan dan kelimpahan hampir secara bersamaan. Pada musim penghujan misalnya, kelimpahan air sangat dirasakan bahkan menjadi sangat berlebih dan menjadi bencana. Karena daya dukung alam untuk menahan laju air hujan sudah semakin berkurang. Sedangkan ketika musim kering tiba, yang terjadi justru sebaliknya karena semakin berkurangnya daya dukung alam untuk menyimpan air maka yang terjadi adalah kemarau panjang yang telah menyebabkan masyarakat petani harus melakukan ekspansi pekerjaan hanya untuk mempertahankan hidupnya. Fakta ini sangat jelas terjadi karena daya dukung alam (hutan) sebagai penyaring, penahan, penampung hujan, telah berubah fungsi.
Melihat kondfisi hutan di Pulau Jawa yang memprihatinkan itu ProFauna menyerukan untuk diambil langkah-langkah praktis dan politis oleh pemerintah. Langkah praktis adalah dengan penghijauan berbasis masyarakat dan penempatkan pos-pos pengamanan di semua titik keluar masuknya orang di kawasan konservasi alam. Sedangkan langkah politis perlu diambil dengan mengeluarkan sebuah kebijakan yang benar-benar "pro hutan" dengan melarang semua bentuk ahli fungsi hutan alami. Pelarangan ini bukan hanya di atas kertas saja, namun dengan penegakan hukum bagi pelanggarnya.
Informasi lebih lanjut silahkan hubungi:
Radius Nursidi
(Forest Campaign Officer)
Email: radius@profauna.net
HP. +62 815 393 55015