Tuntutan Masyarakat Adat Wehea: Cabut Izin Usaha Tambang

Profauna kampanye penyelamatan hutan WeheaJakarta, 4 Februari 2015 - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerima kedatangan masyarakat adat Dayak Wehea di Kantor Manggala Wanabakti pada tanggal 3 Februari 2014 yang secara resmi diterima oleh Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan, Ir. Prie Supriadi, MM, dan Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Himsar Sirait, SH.

Masyarakat adat Dayak Wehea tinggal di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur menyatakan bahwa hutan merupakan lumbung kehidupan dimana mata pencahariannya adalah berkebun dan berladang. Masyarakat adat Dayak Wehea memiliki ketergantungan tinggi kepada lingkungan terusik kehidupannya akibat perambahan hutan dari pihak luar serta meminta agar izin usaha pertambangan dan pembukaan lahan untuk perkebunan dihentikan karena akan mengganggu ekosistem di tempat mereka tinggal.

Suku Dayak Wehea adalah sub suku Dayak yang mendiami enam desa di Kutai Timur, Kalimantan Timur, diantaranya Desa Nehas Liah Bing, Long Wehea, Diaq Leway, Dea Beq, dan Bea Nehas. Masing-masing kepala adat dari 6 desa tersebut juga merupakan anggota Dewan Adat Dayak Wehea dengan Ketua Dewan adatnya saat ini dipimpin oleh Bapak Tleang Lung (Kepala Adat Dayak Wehea Desa Dea Beq) dengan Sekretaris Adat adalah Bapak Ledjie Be (tetua adat Dayak Wehea dari Desa Bea Nehas).

Populasi di masyarakat adat Wehea sekitar 6000 orang. Suku Wehea menjaga hutan lindung yaitu Hutan Lindung Wehea. "Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen." Deretan kata dalam bahasa Dayak Wehea itu berarti sebuah aturan: perlindungan dan pemanfaatan terbatas hutan Wehea. Ladjie Taq, kepala adat suku Wehea, bersama beberapa tokoh adat Wehea lainnya yang menetapkan aturan sejak 4 November 2004 dan secara khusus dijaga oleh Pasukan Adat Dayak Wehea atau rangers bernama Petkuq Mehuey.

Hutan Lindung Wehea seluas 38.000 ha, berada di ketinggian 250 m di timur sampai 1750 m di barat, dengan tipe hutan mulai dari dataran rendah hingga hutan pegunungan. Hutan Wehea mempunyai fungsi hidrologis yang penting karena merupakan DAS untuk Sungai Wehea di Kabupaten Kutai Timur dan Sungai Long Gi di Kabupaten Berau yang terletak di Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang berjarak sekitar 450 km dari Kota Samarinda, ibukota Kalimantan Timur tersebut resmi menjadi kawasan hutan lindung yang dijaga secara adat oleh masyarakat Dayak Wehea.

Suku Dayak Wehea memiliki wilayah adat yang cukup luas, diantaranya pada bagian utara yang berbatasan dengan Desa Merapun dan Merabu serta desa-desa di Kecamatan Sungai Kelay dan wilayah sepanjang pegunungan hingga ke Kung Kemul serta batas Kabupaten Malinau, Kabupaten Berau, pada bagian timur berbatasan dengan Sungai Bengalon, selatan berbatasan dengan Keham (jeram) yang terletak di bagian hulu Kampung Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, dan bagian barat berbatasan dengan pematang gunung pemisah antara Sungai Tlan (orang luar biasa menyebut Sungai Telen) dan Sungai Mara.

Sejak tahun 2012, kawasan eks HPH PT. Mugi Triman diubah menjadi kawasan Reforestasi untuk Pelepas liaran Orang Utan yang dikelola bersama oleh Yayasan BOS-Foundation dan PT. Reforestasi untuk Orang Utan Indonesia (RHOI) bersama masyarakat Suku Dayak Wehea di bantaran Sungai Telen dan pola kerjasama tersebut kemudian rencananya diperbaharui pada Maret 2014.

Hutan Lindung Wehea terdapat berbagai jenis satwa liar antara lain 19 jenis mamalia, 114 jenis burung, 12 hewan pengerat, 9 jenis primata, dan 59 jenis pohon bernilai ekonomi. Salah satu primata yang menggantungkan hidupnya terhadap kelestarian Hutan Wehea adalah orangutan (Pongo pygmaeus).

Hutan Lindung Wehea itu sebelumnya adalah eks-hutan ekploitasi perusahaan HPH PT Gruti III. Kemudian pada 1995 digabung dengan PT Inhutani II menjadi PT Loka Dwihutani. Pada tahun 2003, hutan dievaluasi oleh Pemprov Kaltim dan dinilai kondisinya masih baik. Pada tahun 2005 melalui melalui Surat Keputusan Bupati Kutim No. 44/02.188.45/HK/II/2005 dibentuklah Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea (BP-HULIWA) yang terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat adat, lembaga pendidikan, dan LSM.

Hutan lindung Wehea dikelola oleh masyarakat adat Dayak Wehea. Warga Dayak Wehea melalui lembaga adat Dayak Wehea menunjukan kepedulian tinggi dalam melestarian hutan Wehea.

Kepedulian Masyarakat Adat Wehea ini kemudian mendapat penghargaan dari pemerintah dengan dianugrahkannya penghargaan Kalpataru ke Lembaga Adat Dayak Wehea Nehas Liah Bing pada tahun 2009. Penghargaan yang diberikan langsung oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono itu semakin membuka mata masyarakat luas akan keberadaan hutan lindung Wehea yang patut dilestarikan.

Saat ini wilayah adat Dayak Wehea terancam kerusakan ekologi yang luar biasa. Alih fungsi hutan menjadi HPH, pertambangan dan perkebunan sawit secara besar-besaran, telah mengakibatkan hilangnya ruang dan kualitas hidup. Padahal masyarakat adat Wehea selama ini menjadikan sungai dan hutan sebagai sumber kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan religiositasnya.

Ada tiga tuntutan yang diperjuangkan masyarakat adat Dayak Wehea yaitu (1) menuntut pengakuan atas masyarakat adat Dayak-Wehea dan hak ulayat sebagai sebuah entitas masyarakat adat di Indonesia, (2) penghentian penerbitan ijin baru untuk segala jenis usaha yang dapat merusak hutan adat, budaya dan lingkungan hidup, (3) pencabutan semua Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan penghentian ijin baru pertambangan di wilayah Ulayat Masyarakat Adat Wehea Kutai Timur Kalimantan Timur.

Pada pertemuan ini, Irjen Kemenhut dan Deputi V KLH sepakat menyatakan "Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan menindaklanjuti pengaduan ini dengan verifikasi data dan informasi yang ada dilanjutkan dengan verifikasi di lapangan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Saat ini telah terbentuk Tim Penanganan Pengaduan Kasus-kasus LH dan Kehutanan sehingga tim ini dapat menindaklanjuti kasus ini."

Pimpinan rombongan, Ketua Dewan Adat Wehea, Tleang Lung berkesempatan bertemu dengan Menteri LHK, Siti Nurbaya pada acara "Refleksi 100 Hari KLHK" dan menyatakan apresiasinya atas usaha masyarakat adat Dayak Wehea yang selama ini telah menjaga hutan lindung Wehea dalam upaya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.

Sumber: http://www.menlh.go.id/

© 2003 - 2024 ProFauna Indonesia

ProFauna Indonesia (Temukan kami di Google+) adalah lembaga independen non profit berjaringan internasional
yang bergerak dibidang perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya.