Museum Edukasi Satwa Bandung, Jangan Sampai Salah Langkah

Oleh: Rinda Aunillah Sirait*

Ide bagus perlu disertai langkah baik. Konsep inilah yang perlu dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dalam menginisiasi rencana pembangunan Museum Edukasi Satwa sebagai bagian rangkaian revitalisasi taman kota pada 2016.

Cita-cita sejumlah kelompok warga menjadikan Kota Bandung sebagai Kota Peduli Satwa nampaknya mulai terwujud. Setelah pembangunan pet park, Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung berencana membangun Museum Edukasi Satwa, yang kemungkinan besar berlokasi di Taman Tegallega. Rencananya, warga akan disuguhi koleksi awetan satwa sumbangan dari kolektor yang sampai saat ini belum bersedia disebutkan namanya.

Kepala Bidang Pertamanan Dinas Pertamanan dan Permakaman Kota Bandung Dadang Darmawan mengatakan, seorang kolektor binatang awetan sudah menyatakan kesediaan untuk menyerahkan koleksinya. "Museum ini bertemakan edukasi. Seorang kolektor sudah siap menyerahkan secara sukarela koleksi binatang awetannya," ujar Dadang, di Balai Kota Bandung, kemarin. (kutipan berita http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/04/13/asyik-di-bandung-akan-ada-museum-satwa-366599)

Niat memperkenalkan aneka satwa kepada warga Kota Bandung memang mulia. Terbersit harapan Museum Edukasi Satwa ini akan memberikan pengetahuan tentang satwa dan habitatnya; mampu menumbuhkan kesadaran terhadap kelestarian alam. Pada akhirnya, tumbuh kesadaran dan semangat menjaga satwa liar hidup di alam.

Hal menarik adalah media edukasi akan menggunakan awetan satwa koleksi seseorang. Seseorang yang berbaik hati berbagi koleksi satwa awetan miliknya untuk bisa dinikmati warga kota di Museum Edukasi Satwa.  Siapakah beliau? Bagaimana beliau bisa memperoleh dan mengkoleksi awetan satwa? Dan yang terpenting, apakah langkah Pemkot Bandung memanfaatkan awetan satwa ini berada di jalan yang benar?

Baiklah, hingga saat ini identitas penyumbang belum diungkap ke publik. Bisa jadi sang kolektor tidak bersedia diumbar namanya agar tidak menjadi riya atau mungkin pemkot menunggu waktu yang tepat. Apalah arti sebuah nama, dalam kasus ini yang penting adalah identitas penyerta nama tersebut yang bisa menggambarkan dari mana koleksi awetan satwa diperoleh.

Penulis menilai Pemkot Bandung perlu berhati-hati dalam menginisiasi rencana memanfaatkan awetan satwa sebagai media edukasi di Museum Edukasi Satwa. Niat mulia perlu dilanjutkan melalui cara yang baik. Persoalan awetan satwa perlu memperhatikan aspek legal dan etis agar benar di mata hukum dan tidak menimbulkan kontroversi. Apabila satwa awetan merupakan satwa dilindungi, aspek legal harus diperhatikan. Saat memajang satwa yang tidak dilindungi, aspek etis perlu jadi pertimbangan.

Perhatikan Peraturan Perundang-undangan Terkait

Keberadaan awetan satwa, terutama satwa dilindungi, sangat terkait dengan UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam. Pasal 21 ayat (2) butir (b) menyebutkan "Setiap orang dilarang untuk menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati." Sedangkan pada butir (d) menyebutkan "Setiap orang dilarang untuk memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia."

Dalam Pasal 40 ayat [2] UU 5/1990, sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sebuah ancaman sanksi yang tidak main-main.

Terkait peraturan perundangan di atas, perlulah kiranya Pemkot Bandung mempertimbangkan status awetan satwa yang hendak disumbangkan. Asal muasal awetan pun perlu ditelusuri agar ke depannya tidak terjebak menjadi rangkaian akhir jual beli satwa dilindungi yang nyata-nyata ilegal.

Koordinasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menjadi hal mutlak dilakukan. BKSDA bertanggung jawab mengawasi dan memantau peredaran tumbuhan dan satwa yang dilindungi di wilayahnya; termasuk pula memantau upaya-upaya penangkaran dan pemeliharaan tumbuhan dan satwa dilindungi oleh perorangan, perusahaan dan lembaga-lembaga konservasi terkait. Salah satu tugas pokok dan fungsi BKSDA adalah melaksanakan upaya konservasi tumbuhan dan satwa liar, baik di dalam habitatnya (konservasi in-situ) maupun di luar habitatnya (konservasi ex-situ).

Penyerahan awetan satwa liar dilindungi dari kolektor kepada Pemkot harus dihindari karena secara legal formal, Pemkot tidak memiliki kewenangan menerimanya. Baiknya kolektor secara sukarela menyerahkan awetan satwa liar dilindungi ke BKSDA setempat. Untuk kebutuhan koleksi museum, Pemkot (pengelola Museum Edukasi Satwa) bisa mengajukan permohonan memanfaatkan hasil penyerahan sukarela atau barang sitaan dari BKSDA. Nampak rumit, namun inilah langkah baik yang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

Secara kelembagaan, status pengelola Museum Edukasi Satwa pun harus jelas, jangan sampai Pemkot melangkahi peraturan perundang-undangan yang ada. Pengelolaan Museum Edukasi Satwa nantinya harus mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pemkot perlu memperhatikan Bab V Pasal 22 Perpres 7/1999.

Berdasarkan peraturan tersebut, Pemkot perlu segera membentuk lembaga pengelola Museum Konservasi Satwa yang memiliki dasar hukum kuat. Hal ini penting untuk menghindari adanya gugatan hukum di kemudian hari.

Perhatikan Aspek Etika

Selain aspek hukum, pengelolaan Museum Edukasi Satwa pun perlu memperhatikan aspek etika. Koleksi awetan satwa biasanya terkait dengan aktivitas perburuan. Sejumlah penghobi berburu kerap kali memamerkan hasil buruan dengan cara mengawetkannya. Awetan satwa buruan seolah menjadi trophy yang menunjukkan kemahirannya membidik sasaran.

Penulis berharap Pemkot bijak dalam menyikapi tawaran penyerahan awetan satwa. Jika memang perlu menerimanya, pastikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Awetan satwa yang dipajang bisa jadi bukan merupakan satwa dilindungi, namun bila satwa itu merupakan hasil buruan nampaknya Pemkot perlu mempertimbangkan potensi dampak lain. Jangan sampai menginspirasi pengunjung mempermarak perburuan satwa di alam, mengawetkannya, lalu memamerkannya sebagai trophy.

Lalu, bagaimana sebaiknya Pemkot mengisi koleksi Museum Edukasi Satwa? Memanfaatkan kreativitas Warga Kota Bandung, itu jawabannya! Jangan lupa, Warga Bandung terkenal dengan kreativitasnya. Sejumlah seniman lokal bisa dilibatkan membuat patung satwa dengan nilai estetika tinggi; pengrajin elemen estetis bisa dilibatkan untuk membuat media edukasi pengenalan satwa yang interaktif dengan pengunjung; bahkan komunitas fotografer di Bandung pun bisa dimintai hasil jepretannya untuk mengisi koleksi museum.

Alih-alih jadi ajang pameran koleksi personal, lebih baik Museum Edukasi Satwa menjadi ajang pameran kreativitas warga kota. Siapa sih yang tidak bangga karyanya bisa dilihat banyak orang sekaligus bermanfaat bagi warga kota? Prung!

*Penulis adalah Koordinator PROFAUNA Representatif Jawa Barat, aktif mengajar di Fikom-Unpad.

© 2003 - 2024 ProFauna Indonesia

ProFauna Indonesia (Temukan kami di Google+) adalah lembaga independen non profit berjaringan internasional
yang bergerak dibidang perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya.